Penutup pidato bahasa sunda
Penutup pidato bahasa sunda - Di bawah ini adalah contoh penutup pidato bahasa Sunda
"Rupina sakitu nu tiasa kapihatur ku sim kuring, hapunten bilih aya cariosan anu kirang merenah kana manah, rupina eta sadaya kalepatan teh ti sim kuring sareng sadaya kasaean sumpingna ti gusti Allah SWT."
Dalam bahasa Sunda, pidato dikenal dengan sebutan biantara. Biantara atau pidato adalah bentuk berbicara di depan orang banyak dengan menggunakan naskah pidato yang disusun secara baik dan terencana. Bahasa Sunda memiliki ciri khas tersendiri dalam penyampaian pidato, karena menggunakan dua jenis ragam bahasa, yaitu bahasa halus dan bahasa kasar. Terdapat pula dua jenis biantara, yaitu biantara resmi dan biantara tidak resmi.
Ragam bahasa dalam bahasa Sunda terdiri dari ragam basa hormat atau lemes (halus) dan ragam basa loma (akrab/kasar). Ragam basa hormat atau lemes biasanya digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Ragam ini menunjukkan kesopanan dan penghormatan terhadap lawan bicara. Sedangkan ragam basa loma digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih muda atau orang yang sudah dikenal dengan baik dan akrab. Ragam ini lebih santai dan informal.
Dalam biantara resmi, penggunaan ragam basa hormat atau lemes lebih umum. Hal ini mengindikasikan adanya penghormatan kepada pendengar dan keadaan formal yang sedang berlangsung. Biantara resmi biasanya dilakukan dalam acara-acara resmi seperti upacara adat, seminar, atau pidato resmi lainnya. Pidato resmi ini memerlukan persiapan yang matang dalam penyusunan naskah pidato serta penggunaan bahasa yang sesuai dengan norma-norma kebahasaan yang berlaku.
Sementara itu, biantara tidak resmi cenderung menggunakan ragam basa loma. Pidato dalam biantara tidak resmi biasanya terjadi dalam acara-acara yang lebih santai seperti perayaan keluarga, pertemuan teman, atau acara informal lainnya. Dalam biantara tidak resmi, penggunaan bahasa Sunda dapat lebih bebas dan alami, mengikuti karakteristik percakapan sehari-hari.
Dalam kedua jenis biantara tersebut, penting bagi pembicara untuk memahami konteks acara dan audiens yang akan didengarkan. Pemilihan ragam bahasa yang tepat akan memberikan kesan yang sesuai dan menjaga hubungan antara pembicara dan pendengar. Selain itu, pembicara juga perlu menguasai teknik penyampaian yang baik agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pendengar.
Biantara dalam bahasa Sunda merupakan bentuk komunikasi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman akan ragam bahasa dan penyesuaian penggunaannya dalam biantara resmi dan tidak resmi akan memberikan dampak yang positif dalam menjalin hubungan sosial dan memperkaya budaya Sunda.
Dalam bahasa Sunda, pidato dikenal dengan sebutan biantara. Biantara atau pidato adalah bentuk berbicara di depan orang banyak dengan menggunakan naskah pidato yang disusun secara baik dan terencana. Bahasa Sunda memiliki ciri khas tersendiri dalam penyampaian pidato, karena menggunakan dua jenis ragam bahasa, yaitu bahasa halus dan bahasa kasar. Terdapat pula dua jenis biantara, yaitu biantara resmi dan biantara tidak resmi.
Ragam bahasa dalam bahasa Sunda terdiri dari ragam basa hormat atau lemes (halus) dan ragam basa loma (akrab/kasar). Ragam basa hormat atau lemes biasanya digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Ragam ini menunjukkan kesopanan dan penghormatan terhadap lawan bicara. Sedangkan ragam basa loma digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih muda atau orang yang sudah dikenal dengan baik dan akrab. Ragam ini lebih santai dan informal.
Dalam biantara resmi, penggunaan ragam basa hormat atau lemes lebih umum. Hal ini mengindikasikan adanya penghormatan kepada pendengar dan keadaan formal yang sedang berlangsung. Biantara resmi biasanya dilakukan dalam acara-acara resmi seperti upacara adat, seminar, atau pidato resmi lainnya. Pidato resmi ini memerlukan persiapan yang matang dalam penyusunan naskah pidato serta penggunaan bahasa yang sesuai dengan norma-norma kebahasaan yang berlaku.
Sementara itu, biantara tidak resmi cenderung menggunakan ragam basa loma. Pidato dalam biantara tidak resmi biasanya terjadi dalam acara-acara yang lebih santai seperti perayaan keluarga, pertemuan teman, atau acara informal lainnya. Dalam biantara tidak resmi, penggunaan bahasa Sunda dapat lebih bebas dan alami, mengikuti karakteristik percakapan sehari-hari.
Dalam kedua jenis biantara tersebut, penting bagi pembicara untuk memahami konteks acara dan audiens yang akan didengarkan. Pemilihan ragam bahasa yang tepat akan memberikan kesan yang sesuai dan menjaga hubungan antara pembicara dan pendengar. Selain itu, pembicara juga perlu menguasai teknik penyampaian yang baik agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pendengar.
Demikian artikel kali ini di motorcomcom jangan lupa simak artikel menarik lainnya disini.
Posting Komentar untuk "Penutup pidato bahasa sunda"